Tuesday, April 28, 2015

Lubang – Lubang di Teras

Panas bulan September tidak terlalu menyengat di bawah penjagaan dua pohon asam yang rindang di depan rumah. Bahkan, di teras terasa lebih sejuk karena rindangnya pohon asam ini. Tentu saja, atap rumah ini menggunakan seng dan tanpa langit-langit. Akan tetapi, dinding dari bebak lontar (pelepah lontar) membuat suhu di dalam ruangan tidak terlalu panas. Lantai yang terbuat dari plester semen yang halus juga terasa dingin.

Tembok setinggi lutut yang ditutup dengan ubin menjadi tempat favorit anak-anak dan tetangga lainnya untuk duduk-duduk, bermain bahkan tidur siang. Anak-anak kerap bermain di teras ini sepulang sekolah. Anak-anak kecil yang belum sekolah atau anak-anak kelas kecil biasa bermain bola kaki di teras. Mungkin karena besarnya teras yang tidak terlalu besar sehingga anak kecil senang bermain bola kaki. Atau, bisa jadi juga karena lapangan bola kaki yang sesungguhnya dikuasai oleh anak-anak yang lebih besar.



Di sisi timur teras, ada bagian lantai teras yang bolong. Pengerjaan semen yang kurang baik dan tidak rata membuat lantai mudah pecah. Lubang itu diawali dengan retakan kecil. Anak-anak yang suka datang bermain bola tanpa disadari memperbesar retakan itu menjadi sebuah lubang. Kadang, ada saja anak yang suka mengorek-ngorek lubang itu dan tentunya berkontribusi akan adanya sebuah lubang besar di teras.

Lubang itu tentunya berpasir dan menampung debu-debu yang terbawa angin. Setiap kali disapu, tidak lama teras pasti berdebu lagi. Si pemilik teras rumah ini dengan sabar menyapu terasnya dan lubang itu. Karena lubang itu semakin besar, si pemilik teras juga lelah menyapu debu-debu yang singgah di lubang itu, si pemilik teras menambal lubang di teras dengan semen seadanya. Si  pemilik teras pun senang karena anak-anak bisa bermain tanpa perlu khawatir kakinya akan terluka dan tidak ada lagi teras yang berdebu terus menerus.

Keadaan itu tidak berlangsung lama. Ternyata, banyak bagian yang juga retak. Keadaan itu berulang lagi. Anak-anak bermain di retakan dan membuatnya semakin besar dan menjadi lubang-lubang. Si pemilik teras tidak mungkin melarang anak-anak untuk bermain di terasnya lagi. Ia juga tidak mampu membongkar ulang terasnya.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang biasa bermain semakin besar dan dengan sendirinya pindah ke lapangan yang lebih besar. Tetapi, tentunya ada anak kecil yang baru menggantikan kakak-kakak yang terdahulu. Mereka juga suka bermain bola dengan kaki-kaki kecil mereka di teras yang terus berlubang.

Sebenarnya, si pemilik teras tahu kalau teras itu bukanlah tempat yang tepat untuk bermain bola. Namun, si pemilik teras tidak mau ambil pusing. Si pemilik teras berpikir meskipun ia menasihati anak-anak yang bermain di terasnya tidak akan membuat mereka berhenti bermain di terasnya. Di sisi lain, si pemilik teras juga berpikir toh anak-anak ini juga mempunyai teras di rumah mereka masing-masing. Teras-teras itu juga sama persis dengan teras yang ada di rumahnya. Tetapi, kata-kata itu hanya berhenti di  pikirannya saja, si pemilik teras tetap membiarkan anak-anak bermain dan tidak pernah menegur mereka.

Kadang memperbaiki apa yang sudah rusak memang terasa lebih mudah. Akan tetapi, tindakan yang merusak tidak pernah disinggung dan tidak ada yang berusaha memperbaiki. Sampai kapan pun  si pemilik teras akan memperbaiki terasnya terus menerus dan parahnya hal ini menjadi tradisi dan pemikiran akan untuk memperbaiki perilaku itu akan hilang. Perilaku itu akan menjadi lazim dan dimaklumi sementara orang-orang sibuk memperbaiki kerusakan akibat perilaku tersebut.


Toh, itu hanya sebuah teras.




25.09.14

~ss

No comments:

Post a Comment