Thursday, April 30, 2015

Withered

one said, I write because you exist
then, my poem has withered
words disassembled
letters faded and lost its sound
since you gone


-one fine Thursday

~ss

Tuesday, April 28, 2015

Lubang – Lubang di Teras

Panas bulan September tidak terlalu menyengat di bawah penjagaan dua pohon asam yang rindang di depan rumah. Bahkan, di teras terasa lebih sejuk karena rindangnya pohon asam ini. Tentu saja, atap rumah ini menggunakan seng dan tanpa langit-langit. Akan tetapi, dinding dari bebak lontar (pelepah lontar) membuat suhu di dalam ruangan tidak terlalu panas. Lantai yang terbuat dari plester semen yang halus juga terasa dingin.

Tembok setinggi lutut yang ditutup dengan ubin menjadi tempat favorit anak-anak dan tetangga lainnya untuk duduk-duduk, bermain bahkan tidur siang. Anak-anak kerap bermain di teras ini sepulang sekolah. Anak-anak kecil yang belum sekolah atau anak-anak kelas kecil biasa bermain bola kaki di teras. Mungkin karena besarnya teras yang tidak terlalu besar sehingga anak kecil senang bermain bola kaki. Atau, bisa jadi juga karena lapangan bola kaki yang sesungguhnya dikuasai oleh anak-anak yang lebih besar.



Di sisi timur teras, ada bagian lantai teras yang bolong. Pengerjaan semen yang kurang baik dan tidak rata membuat lantai mudah pecah. Lubang itu diawali dengan retakan kecil. Anak-anak yang suka datang bermain bola tanpa disadari memperbesar retakan itu menjadi sebuah lubang. Kadang, ada saja anak yang suka mengorek-ngorek lubang itu dan tentunya berkontribusi akan adanya sebuah lubang besar di teras.

Lubang itu tentunya berpasir dan menampung debu-debu yang terbawa angin. Setiap kali disapu, tidak lama teras pasti berdebu lagi. Si pemilik teras rumah ini dengan sabar menyapu terasnya dan lubang itu. Karena lubang itu semakin besar, si pemilik teras juga lelah menyapu debu-debu yang singgah di lubang itu, si pemilik teras menambal lubang di teras dengan semen seadanya. Si  pemilik teras pun senang karena anak-anak bisa bermain tanpa perlu khawatir kakinya akan terluka dan tidak ada lagi teras yang berdebu terus menerus.

Keadaan itu tidak berlangsung lama. Ternyata, banyak bagian yang juga retak. Keadaan itu berulang lagi. Anak-anak bermain di retakan dan membuatnya semakin besar dan menjadi lubang-lubang. Si pemilik teras tidak mungkin melarang anak-anak untuk bermain di terasnya lagi. Ia juga tidak mampu membongkar ulang terasnya.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang biasa bermain semakin besar dan dengan sendirinya pindah ke lapangan yang lebih besar. Tetapi, tentunya ada anak kecil yang baru menggantikan kakak-kakak yang terdahulu. Mereka juga suka bermain bola dengan kaki-kaki kecil mereka di teras yang terus berlubang.

Sebenarnya, si pemilik teras tahu kalau teras itu bukanlah tempat yang tepat untuk bermain bola. Namun, si pemilik teras tidak mau ambil pusing. Si pemilik teras berpikir meskipun ia menasihati anak-anak yang bermain di terasnya tidak akan membuat mereka berhenti bermain di terasnya. Di sisi lain, si pemilik teras juga berpikir toh anak-anak ini juga mempunyai teras di rumah mereka masing-masing. Teras-teras itu juga sama persis dengan teras yang ada di rumahnya. Tetapi, kata-kata itu hanya berhenti di  pikirannya saja, si pemilik teras tetap membiarkan anak-anak bermain dan tidak pernah menegur mereka.

Kadang memperbaiki apa yang sudah rusak memang terasa lebih mudah. Akan tetapi, tindakan yang merusak tidak pernah disinggung dan tidak ada yang berusaha memperbaiki. Sampai kapan pun  si pemilik teras akan memperbaiki terasnya terus menerus dan parahnya hal ini menjadi tradisi dan pemikiran akan untuk memperbaiki perilaku itu akan hilang. Perilaku itu akan menjadi lazim dan dimaklumi sementara orang-orang sibuk memperbaiki kerusakan akibat perilaku tersebut.


Toh, itu hanya sebuah teras.




25.09.14

~ss

Saturday, April 25, 2015

Cerita Tentang Memberikan Kesempatan

Ada banyak cerita tentang berbagi. Beberapa meninggalkan kesan ketulusan, sebagian lainnya meninggalkan kesan heroik seperti cerita-cerita tentang pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka, para pelaku yang mengisahkan cerita tersebut, juga beragam. Beberapa menceritakan pengalaman tentang berbagi gula-gula  saat hari ulang tahun di kelas semasa duduk di sekolah dasar. Ada juga menceritakan pengalaman berbagi sepotong roti di jembatan penyeberangan.

Setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing dengan latar belakang dan skala berbagi yang beragam. Beberapa mengatakan karena kasihan, sebagian lainnya karena kasih. Beberapa melakukannya karena harus, sebagian lainnya karena merasa memiliki hak untuk berbagi. Tidak masalah. Semuanya, sedikit banyak menghasilkan kebaikan.

Semua pemberian dengan ketulusan membawa kebaikan, katanya. Tapi, apakah semua kebaikan membawa perubahan?

Seorang anak kelas IV SD berulangtahun pada hari itu. Ia membagi-bagikan gula-gula untuk teman sekelasnya tidak terkecuali. Semua anak memberikan ucapan selamat kepada anak tersebut. Keesokan harinya anak laki-laki yang sering mengganggunya, tetap mengganggu dan membuatnya menangis. Tidak berubah.

Seorang wanita karir melewati jembatan penyeberangan yang sama menuju kantornya setiap hari. Setiap hari juga ia memberikan sepotong roti kepada tua renta yang duduk di sudut jembatan tersebut. Tua renta itu tetap berada di sudut itu selama bertahun-tahun. Tidak berubah.


Mengapa kebaikan itu tidak membawa perubahan ?

Mungkin jawabannya sederhanya. Karena apa yang diberikan habis.

Banyak dari kita mengukur sebuah pemberian dengan harga, besaran, jumlah, yang tentunya semua bisa habis. Lalu semata-mata kita mengharapkan perubahan dari sesuatu yang bisa habis itu. Perubahan membutuhkan kesempatan.

Seorang ibu memberikan kesempatan untuk anak perempuannya meninggalkan rumah untuk mengabdi kepada bangsa. Kesempatan ini mengubah hidupnya, anak perempuannya dan parahnya lagi lingkungan tempat tinggal anak perempuannya di rantau.

Seorang guru memberikan kesempatan untuk muridnya berbicara di depan kelas sebagai seorang pemimpin. Kesempatan ini membekas di ingatan muridnya. Terngiang selalu sampai ia dewasa, sampai ia berdiri di tengah kawan-kawan mahasiswa, bahwa dulu ketika ia masih SD ada seorang guru yang tersenyum di sampingnya saat ia sedang berbicara terbata-bata di depan kelas dan masih memberikan tepuk tangan sesusai ia berbicara.

Seorang teman memberikan kesempatan untuk temannya mengatakan permintaan maaf atas kesalahan yang diperbuat. Kesempatan itu bahkan menggerakan hatinya sendiri untuk menerima permintaan maaf tersebut dan menghadirkan hadiah yang tidak akan pernah habis: seorang sahabat.

Bukan tentang hak bukan tentang kewajiban. Semua ini tentang kesempatan yang diberikan Cuma-Cuma. Semua orang yang mau mengambil kesempatan ini harus membayar sesuai dengan harga masing-masing, sesuai dengan pengorbanan masing-masing, dengan pertanggungjawaban pada diri masing-masing.

Semua ini tentang memberikan kesempatan. Tentang memberikan kesempatan pada orang yang tidak dikenal sama sekali untuk berbagi dengan kaki-kaki kosong yang meniti batu-batu kapur setiap hari dengan tawa ceria mereka. Semua ini tentang memberikan kesempatan pada orang yang mau berbagi kebaikan dan cerita kepada orang lain yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, kepada para petani lontar yang mempertaruhkan nyawanya memanjat pohon lontar tanpa pengaman apapun. Semua ini tentang memberikan kesempatan saudara sebangsa untuk melihat dunia luar dengan mata orang lain. Bahwa kesempatan-kesempatan ini terbuka lebar untuk tangan-tangan yang mau mengambil, untuk kaki-kaki yang kebas berlari menghantam jalan putih berbatu kapur untuk mata yang tidak pernah lelah dan telinga yang tidak pernah tertutup.

Kesempatan tidak pernah memilih siapa yang mau mengambilnya, manusialah yang memilih kesempatan mana yang akan ia ambil dan membiarkan kesempatan itu mengubah hidupnya.