Bulan kedua di tengah anak-anak dengan senyum malaikat. Setelah
dihitung-hitung, satu tahun tidak akan lama. Bulan kedua sudah berlalu artinya
masih ada sepuluh bulan lagi. Ada keinginan untuk mengenal mereka satu per
satu. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara klasikal.
Sabtu ketiga di bulan kedua. Satu per satu mereka membaca di
samping meja guru. Beberapa sudah lancar membaca. Beberapa masih ada yang
salah-salah membaca bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Satu hal
yang baru disadari saat itu adalah adanya sebuah konsekuensi dari mengenal
lebih jauh. Bisa jadi sebuah kelegaan, bisa juga sebuah ironi. Sebuah ironi,
oleh sebab itu aku ada di sini.
Satu Kata
Di atas selembar post it ,
anak-anak menuliskan satu kata yang bisa membuat mereka senang. Mereka maju ke
depan satu persatu, memikirkannya sejenak dan menuliskan satu kata tersebut
lalu berlalri kecil ke tempat duduk sambil senyum-senyum. Ada yang membutuhkan
waktu singkat untuk menuliskan satu kata yang menyenangkan, ada juga yang
membutuhkan waktu lama untuk menuangkan satu kata tersebut.
Beberapa anak tidak masuk sekolah pada hari itu. Jadi, masih ada
post it yang kosong. Anak-anak cukup
heran ketika diminta untuk menuliskan satu kata tersebut. Kata-kata yang
terkumpul sangat sederhana dan polos. Beberapa tidak terpikirkan oleh orang
dewasa. Dan, siapa pun akan tersenyum membacanya.
Lengkap
Rabu minggu terakhir bulan kedua. Anak-anak yang belum
menuliskan satu kata, mendapat kesempatan menuliskannya. Di hari ini, lengkap
sudah kata-kata menyenangkan bagi anak kelas IV SD Inpres Batulai. Dari
kata-kata tersebut, ada darah yang terpompa hangat mengalir di seluruh tubuh.
Tidak peduli betapa keringnya tenggorokan, teriknya matahari yang menggigit
kaki yang tidak berhenti mengayuh sepeda. Kata-kata itu membuat semangat
melayang-layang di udara, terhirup dan mengalir dalam darah.
Yan
Satu anak kecil yang sering sakit kepala. Rumah Yan cukup jauh
dari sekolah. Pagi hari Yan mengerahkan seluruh semangatnya untuk berangkat ke
sekolah. Siang hari, dengan semangat, Yan menantang matahari dan jalan berbatu
untuk pulang ke rumah. Yan, anak cerdas dari Tutus, tidak pernah lepas dari
tiga besar di dalam kelas meskipun tidak ada yang tahu apakah setiap pagi Yan
sarapan atau tidak.
Yan tinggal bersama nenek dan kakaknya. Orang-orang bilang Mama
Yan sudah ‘jalan’. Entah apa yang dimaksud dengan ‘jalan’. Intinya Yan sudah
tidak pernah bertemu dengan Mama lagi. Bapa Yan baru-baru ini pergi merantau ke
Kalimantan. Seperti kebanyakan Bapa muda di Kuli. Yan anak ketiga dari lima
bersaudara. Kakak Yan yang paling besar duduk di kelas II SMP. Perbedaan usia
mereka tidak jauh-jauh.
Hari sabtu ketika anak-anak lainnya menuliskan satu kata
menyenangkan, Yan tidak masuk sekolah karena sakit. Di hari rabu itu, Yan
bertanya-tanya apa yang diminta untuk dituliskan di kertas kecil itu. “Yan, Ibu
bisa minta Yan pikirkan satu kata yang menyenangkan buat Yan? Satu kata yang
ketika Yan mendengarnya Yan akan merasa senang. Bisa?” Yan kecil mengangguk
cepat. Ia meraih pena dengan tangank kirinya. Satu kata tertulis sudah.
Tanpa berkedip aku membaca sebuah kata di secarik kertas kecil
itu. Yan tersenyum polos sambil menggaruk-garuk kepala. “Sudah Ibu.” Katanya
cepat kemudian berlari kembali ke tempat duduk. Perlahan aku tersenyum
membacanya. Di dalam hati, aku mengakui kekuatan dari sebuah kata itu. Aku pun
selalu senang ketika mendengar atau mengatakan kata tersebut.
Semesta selalu memastikan sahabatnya mendapatkan apa yang
dibutuhkan. Seperti seorang malaikat kidal yang menuliskan satu kata penuh
makna. Satu kata yang bisa mengubah hidup siapa saja. Satu kata yang bisa
membuat semua orang senang.
Bersama. Siapa yang tidak senang dengan kata tersebut?