Saturday, September 6, 2014

Malaikat Kidal

Bulan kedua di tengah anak-anak dengan senyum malaikat. Setelah dihitung-hitung, satu tahun tidak akan lama. Bulan kedua sudah berlalu artinya masih ada sepuluh bulan lagi. Ada keinginan untuk mengenal mereka satu per satu. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara klasikal.
Sabtu ketiga di bulan kedua. Satu per satu mereka membaca di samping meja guru. Beberapa sudah lancar membaca. Beberapa masih ada yang salah-salah membaca bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Satu hal yang baru disadari saat itu adalah adanya sebuah konsekuensi dari mengenal lebih jauh. Bisa jadi sebuah kelegaan, bisa juga sebuah ironi. Sebuah ironi, oleh sebab itu aku ada di sini.
Satu Kata
Di atas selembar post it , anak-anak menuliskan satu kata yang bisa membuat mereka senang. Mereka maju ke depan satu persatu, memikirkannya sejenak dan menuliskan satu kata tersebut lalu berlalri kecil ke tempat duduk sambil senyum-senyum. Ada yang membutuhkan waktu singkat untuk menuliskan satu kata yang menyenangkan, ada juga yang membutuhkan waktu lama untuk menuangkan satu kata tersebut.
Beberapa anak tidak masuk sekolah pada hari itu. Jadi, masih ada post it yang kosong. Anak-anak cukup heran ketika diminta untuk menuliskan satu kata tersebut. Kata-kata yang terkumpul sangat sederhana dan polos. Beberapa tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan, siapa pun akan tersenyum membacanya.
Lengkap
Rabu minggu terakhir bulan kedua. Anak-anak yang belum menuliskan satu kata, mendapat kesempatan menuliskannya. Di hari ini, lengkap sudah kata-kata menyenangkan bagi anak kelas IV SD Inpres Batulai. Dari kata-kata tersebut, ada darah yang terpompa hangat mengalir di seluruh tubuh. Tidak peduli betapa keringnya tenggorokan, teriknya matahari yang menggigit kaki yang tidak berhenti mengayuh sepeda. Kata-kata itu membuat semangat melayang-layang di udara, terhirup dan mengalir dalam darah.
Yan
Satu anak kecil yang sering sakit kepala. Rumah Yan cukup jauh dari sekolah. Pagi hari Yan mengerahkan seluruh semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Siang hari, dengan semangat, Yan menantang matahari dan jalan berbatu untuk pulang ke rumah. Yan, anak cerdas dari Tutus, tidak pernah lepas dari tiga besar di dalam kelas meskipun tidak ada yang tahu apakah setiap pagi Yan sarapan atau tidak.
Yan tinggal bersama nenek dan kakaknya. Orang-orang bilang Mama Yan sudah ‘jalan’. Entah apa yang dimaksud dengan ‘jalan’. Intinya Yan sudah tidak pernah bertemu dengan Mama lagi. Bapa Yan baru-baru ini pergi merantau ke Kalimantan. Seperti kebanyakan Bapa muda di Kuli. Yan anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak Yan yang paling besar duduk di kelas II SMP. Perbedaan usia mereka tidak jauh-jauh.
Hari sabtu ketika anak-anak lainnya menuliskan satu kata menyenangkan, Yan tidak masuk sekolah karena sakit. Di hari rabu itu, Yan bertanya-tanya apa yang diminta untuk dituliskan di kertas kecil itu. “Yan, Ibu bisa minta Yan pikirkan satu kata yang menyenangkan buat Yan? Satu kata yang ketika Yan mendengarnya Yan akan merasa senang. Bisa?” Yan kecil mengangguk cepat. Ia meraih pena dengan tangank kirinya. Satu kata tertulis sudah.
Tanpa berkedip aku membaca sebuah kata di secarik kertas kecil itu. Yan tersenyum polos sambil menggaruk-garuk kepala. “Sudah Ibu.” Katanya cepat kemudian berlari kembali ke tempat duduk. Perlahan aku tersenyum membacanya. Di dalam hati, aku mengakui kekuatan dari sebuah kata itu. Aku pun selalu senang ketika mendengar atau mengatakan kata tersebut.
Semesta selalu memastikan sahabatnya mendapatkan apa yang dibutuhkan. Seperti seorang malaikat kidal yang menuliskan satu kata penuh makna. Satu kata yang bisa mengubah hidup siapa saja. Satu kata yang bisa membuat semua orang senang.


Bersama. Siapa yang tidak senang dengan kata tersebut?

Seperti Merak yang Bisa Terbang

Saya belum mengetahui apa materi ajar untuk praktek besok. Setelah mencari silabus yang tersebar  di teman-teman, saya cukup kaget ketika saya harus mengajar Seni Budaya dan Keterampilan dan Muatan lokal Bahasa Sunda. Di silabus sudah ditandai poin mana yang akan menjadi materi ajar saya. Poin tersebut adalah siswa mampu menirukan tarian dengan gerakan binatang.
Sebagai seorang yang senang menari, saya sempat bingung. Materi tari yang ada pada saya adalah materi tari baku yang memiliki pakem tertentu. Mengajar tari untuk orang dewasa memang lah mudah. Akan tetapi, saya belum pernah punya pengalaman mengajar tari, anak kelas 2 SD, sebanyak 45 orang, dan berkaitan dengan binatang.
Saya berpikir panjang untuk mempersiapkan materi ajar saya tersebut. RPP yang saya susun sebagian besar terdiri dari nyanyian-nyanyian dengan gerakan binatang. Sama sekali tidak terpikir untuk mengajarkan mereka suatu tarian yang sudah saya kuasai sebelumnya. Malam itu, saya sibuk memikirkan lagu-lagu yang terkait dengan binatang serta mencari-cari gerakannya.
Pagi itu, saya mengajar pada pukul 09:30. Sembari menunggu, saya berbincang-bincang dengan guru-guru di ruang guru. Tidak ada rencana untuk mengajar menari, tetap saja saya membawa laptop, sampur, dan speaker.
Masuk kelas pagi itu saya disambut oleh tatapan-tatapan polos. Selesai memeriksa kehadiran, saya menyampaikan materi sesuai dengan yang ada di silabus.
“Anak-anak siapa yang tahu burung merak?” serempak mereka menjawab “saya tahu bu!”
Seekor burung merak, bisa kah ia terbang ataukah tidak? Saya mulai mengepak-kepakkan sampur , layaknya sayap. Semakin lama semakin pelan kepakannya. Langkahnya kecil-kecil perlahan seiring dengan gerakan tangan yang menirukan kepala  dengan paruh yang lancip serta lentiknya sayap sang merak. Begitu, bergantian sang merak melangkah dan menoleh seolah di tempat baru dimana ia harus waspada. Suara gendang yang rampak mengejutkan sang merak, terburu-buru ia terbang berputar, dikepakkannya lah sayapnya. Mendarat di lahan yang lebih aman , sang merak berusaha mencari temannya.
Anak-anak tidak tahu bahwa gerakan tarian yang mereka bawakan merupakan tari perempuan yang mengisahkan tentang sepasang merak. Semua anak berebut untuk bisa maju ke depan kelas untuk bisa menari bersama Ibu Ily. Dari yang awalnya sudah sangat tertarik sampai anak-anak yang ribut sendiri di kursi belakang.
Usai pertunjukan kecil kami, anak-anak menanyakan apakah mereka akan belajar. Saya menanyakan apa lagi yang hendak mereka pelajari. Anak-anak sangat semangat untuk belajar membaca dan menulis. Akhirnya, saya menuliskan satu kalimat untuk mereka salin.
“Hari ini saya belajar Tari Merak”
Dari satu kalimat tersebut, saya tidak menyangka bahwa mereka akan menuliskan banyak hal. Ada anak yang menuliskan satu paragraf terintegrasi. Ada juga yang menuliskan beberapa kalimat yang diberi nomor. Mulai dari ungkapan perasaan sampai deskripsi kegiatan kami hari ini.
Pada satu titik dalam hidup saya, saya boleh merasa kehadiran saya  sangat bermakna, dinilai dengan ketulusan dan kejujuran seorang anak. Di bukunya yang tipis, tertulis sebuah kalimat yang memiliki dampak besar dalam hidup saya. Kalimat yang akan terbawa seumur hidup saya. Kepada penulisnya lah saya harus berterimakasih banyak, yang kepadanya, yang bahkan saya lupa siapa namanya. Terima kasih Nak, banggakanlah negerimu kelak.


“Saya bangga  punya ibu guru seperti Ibu Ily”

Useless

I ran and grabbed a seat
Just to watch the sun goes down
I repeat all over again
To make sure you are sinking well with the sun
But it never happened