Ada banyak cerita tentang
berbagi. Beberapa meninggalkan kesan ketulusan, sebagian lainnya meninggalkan
kesan heroik seperti cerita-cerita tentang pahlawan yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Mereka, para pelaku yang mengisahkan cerita tersebut, juga
beragam. Beberapa menceritakan pengalaman tentang berbagi gula-gula saat hari ulang
tahun di kelas semasa duduk di sekolah dasar. Ada juga menceritakan pengalaman
berbagi sepotong roti di jembatan penyeberangan.
Setiap orang memiliki
pengalamannya masing-masing dengan latar belakang dan skala berbagi yang
beragam. Beberapa mengatakan karena kasihan, sebagian lainnya karena kasih.
Beberapa melakukannya karena harus, sebagian lainnya karena merasa memiliki hak
untuk berbagi. Tidak masalah. Semuanya, sedikit banyak menghasilkan kebaikan.
Semua pemberian dengan ketulusan
membawa kebaikan, katanya. Tapi, apakah semua kebaikan membawa perubahan?
Seorang anak kelas IV SD
berulangtahun pada hari itu. Ia membagi-bagikan gula-gula untuk teman sekelasnya tidak terkecuali. Semua anak
memberikan ucapan selamat kepada anak tersebut. Keesokan harinya anak laki-laki
yang sering mengganggunya, tetap mengganggu dan membuatnya menangis. Tidak
berubah.
Seorang wanita karir melewati
jembatan penyeberangan yang sama menuju kantornya setiap hari. Setiap hari juga
ia memberikan sepotong roti kepada tua renta yang duduk di sudut jembatan
tersebut. Tua renta itu tetap berada di sudut itu selama bertahun-tahun. Tidak
berubah.
Mengapa kebaikan itu tidak
membawa perubahan ?
Mungkin jawabannya sederhanya.
Karena apa yang diberikan habis.
Banyak dari kita mengukur sebuah
pemberian dengan harga, besaran, jumlah, yang tentunya semua bisa habis. Lalu semata-mata kita
mengharapkan perubahan dari sesuatu yang bisa habis itu. Perubahan membutuhkan kesempatan.
Seorang ibu memberikan kesempatan
untuk anak perempuannya meninggalkan rumah untuk mengabdi kepada bangsa.
Kesempatan ini mengubah hidupnya, anak perempuannya dan parahnya lagi
lingkungan tempat tinggal anak perempuannya di rantau.
Seorang guru memberikan
kesempatan untuk muridnya berbicara di depan kelas sebagai seorang pemimpin.
Kesempatan ini membekas di ingatan muridnya. Terngiang selalu sampai ia dewasa,
sampai ia berdiri di tengah kawan-kawan mahasiswa, bahwa dulu ketika ia masih SD
ada seorang guru yang tersenyum di sampingnya saat ia sedang berbicara
terbata-bata di depan kelas dan masih memberikan tepuk tangan sesusai ia
berbicara.
Seorang teman memberikan
kesempatan untuk temannya mengatakan permintaan maaf atas kesalahan yang diperbuat.
Kesempatan itu bahkan menggerakan hatinya sendiri untuk menerima permintaan
maaf tersebut dan menghadirkan hadiah yang tidak akan pernah habis: seorang
sahabat.
Bukan tentang hak bukan tentang
kewajiban. Semua ini tentang kesempatan yang diberikan Cuma-Cuma. Semua orang
yang mau mengambil kesempatan ini harus membayar sesuai dengan harga
masing-masing, sesuai dengan pengorbanan masing-masing, dengan
pertanggungjawaban pada diri masing-masing.
Semua ini tentang memberikan
kesempatan. Tentang memberikan kesempatan pada orang yang tidak dikenal sama
sekali untuk berbagi dengan kaki-kaki kosong yang meniti batu-batu kapur setiap
hari dengan tawa ceria mereka. Semua ini tentang memberikan kesempatan pada
orang yang mau berbagi kebaikan dan cerita kepada orang lain yang belum pernah
mereka kenal sebelumnya, kepada para petani lontar yang mempertaruhkan nyawanya
memanjat pohon lontar tanpa pengaman apapun. Semua ini tentang memberikan
kesempatan saudara sebangsa untuk melihat dunia luar dengan mata orang lain.
Bahwa kesempatan-kesempatan ini terbuka lebar untuk tangan-tangan yang mau
mengambil, untuk kaki-kaki yang kebas berlari menghantam jalan putih berbatu
kapur untuk mata yang tidak pernah lelah dan telinga yang tidak pernah
tertutup.
Kesempatan tidak pernah memilih
siapa yang mau mengambilnya, manusialah yang memilih kesempatan mana yang akan
ia ambil dan membiarkan kesempatan itu mengubah hidupnya.
Harus di bagikan tulisan ini... Minta ijin untuk di bagikan. Boleh?
ReplyDeletesilakan kak :)
Delete