Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Sunday, October 25, 2015

Apa Adanya

"Kamu kok ngopi terus sih?"
"Kalau sendiri lebih enak ngopi. Kalau ngopi lebih enak sendiri."
"Emang kalau rame?"
"Hm? Kalau pahit ditelen sendiri lebih enak."

--

"Karamel atau hazelnut?"
"No flavor. No sugar, please."

Dia bahkan tidak menanyakan hot or cold. Barista itu hanya terpaku dan mengangguk. Saya memberikan kesempatan pada intuisinya untuk bekerja tanpa bertanya dan menentukan sendiri cappuccino itu panas atau dingin.

Yang datang ternyata panas. Saya tersenyum memandangi foam di atasnya. Bentuknya hati. Saya menyesap, mengecup lebih tepatnya, dari sudut hati. Niatnya supaya bentuknya tidak rusak. Sendok di samping hanyalah formalitas. Gula hanya persona. Perasa ibarat make up. Kopi dengan susu saja sudah dosa. Apalagi dengan yang lain.

Saya suka mengecup cappuccino saya. Indah. Lembut. Hangat. Tetap pahit.

Apa adanya.

01.12.13

Saturday, August 22, 2015

Kue Lupis

(Saya tidak akan menuliskan resep kue lupis.)
Selain makan buah, saya suka sekali makan kue. Buat saya, setiap kue punya cerita. Berbeda dengan makanan-makanan berat lainnya, cerita tentang kue selalu spesial. Kalau ditanya tentang kue kesukaan, pasti jawabannya bisa memenuhi satu halaman dengan alasan masing-masing kue tersebut menjadi kesukaan.

Saya suka kue tiramisu karena dulu ketika ibu saya masih bekerja di restaurant saya sering di bawa ke kantornya. Biasanya chef asing di sana memberikan saya hadiah satu cup tiramisu. Dulu, itu adalah surga buat bocah seperti saya.

Lain dengan tiramisu, saya kecil sangat suka juga makan kue bagea, jajanan khas Sulawesi Utara. Dulu, kalau ada saudara yang pulang kampung ke Tomohon, saya selalu dapat oleh-oleh bagea. Kalau pulang dari Jogja biasanya saya membeli kue nopia (bukan bakpia) dalam jumlah banyak juga.
Masih banyak kue-kue dengan cerita spesial di baliknya, cheese cake, black forest, sarang semut, onbekuuk, ananastaar, kastengels, brownies, putu, dan satu yang sudah sangat sulit didapat sekarang: kue lupis.

Kue lupis adalah jajanan traditional yang terbuat dari beras ketan yang dibungkus dengan daun pisang. Berbeda dengan kue lemper yang ada isinya, kue lupis tidak ada isinya tapi disiram dengan gula merah yang sudah dimasak hingga kental. Biasanya selain disiram dengan gula kental, diberi taburan kelapa parut.

Kue lupis yang saya kenal dulu berbentuk segitiga, khas buatan orang Manado, khas buatan Oma saya. Dari semua hari yang ada, saya selalu menunggu-nunggu Hari Minggu. Di Hari Minggu, Oma datang ke rumah seusai ibadat di gereja. Saya selalu berdoa semoga Oma menyisihkan satu kue lupis buat saya.

Oma adalah orang yang pintar masak dan membuat kue, kue apa saja. Setiap hari minggu, Oma berjualan kue dan masakan manado di depan gereja. Kalau membuat kue lupis dan sup brenebon, Oma pasti menyisihkan masing-masing satu untuk cucunya ini.

Setibanya Oma di rumah, dengan sumrimngah saya langsung melahap habis kue lupis tersebut. Itu cerita sepuluh tahun yang lalu.

Pagi ini, Mbak membeli kue lupis di tukang dagang jajan pasar keliling. Kue lupisnya berbentuk tabung. Gulanya encer. Saya makan satu sambil mengingat-ingat kue lupis segitiga dengan gulanya yang kental. Memori tentang penantian satu buah kue lupis dari Oma mewarnai Minggu pagi yang sepi.

Sudah hampir sepuluh tahun saya tidak makan kue lupis berbentuk segitiga itu.


Saya menghabiskan kue lupis di piring kecil ini dengan cepat dan bergegas minum air putih banyak-banyak. Berharap memori yang dibawa kue lupis ini segera larut. 

~sekarsarkara
22.08.15

Tuesday, June 23, 2015

Terbenam

Arus dalam samudera mulai kencang. Tirtaman Muda langsung bergegas mengemas barang-barangnya dan segera beranjak keluar rumah. Seekor ikan layang-layang tersenyum melambaikan siripnya. Rumahnya tidak terlalu bagus. Namun, rumah ini biasa menjadi tempat berkumpul para ikan kecil. Mereka berteman akrab dengan Tirtaman Muda. Semua dari mereka sudah tahu  kebiasaan Tirtaman Muda setiaap senja.

Tirtaman Muda menyampirkan tali dan karung di pundak kanannya. Ia berlari  dari dasar laut sambil memegang topi hjaunya yang sudah lusuh. Langkahnya terhuyung-huyung. Tirtaman Muda tahu ia tidak boleh terlambat. Tirtaman Muda tidak pernah terlambat.

Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak ia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Janjinya dulu ketika melangkah keluar pekarangan rumahnya adalah menerangi lautan. Semenjak Tirtaman Muda beranjak dewasa, ia selalu bertanya-tanya mengapa tidak bisa ia dapatkan hari yang selalu terang.

Tirtaman Muda akhirnya membuat tatakan dari sebongkah karang mati di samping rumahnya. Untuk meletakan Matahari.

Perjalanan menuju permukaan cukup jauh. Tirtaman Muda sengaja mencari rumah di bukit sebelah barat. Menjelang senja ia pasti sudah beranjak. Sampai di dekat permukaan, Tirtaman Muda mulai memasang simpul di talinya. Biasanya beberapa ikan di sekelilingnya membantu. Tirtaman selalu sampai di tempat itu lebih awal. Ia bersiap-siap sambil menunggu di atas padang bunga karang.

Waktunya hampir tiba. Tirtaman Muda memasang mata tak berkedip. Dipegangnya erat-erat tali yang telah disimpulnya itu. Tepat saat Matahari menyentuh permukaan air, Tirtaman Muda mengayunkan talinya tepat melingkari badan Matahari. Dua ujung tali ia ambil dan tarik dengan kedua tangannya.


Pada saat itu Tirtaman Muda jadi berwarna keemasan. Senyumnya lebar dan matanya berbinar-binar. Ia mengerahkan semua tenaganya untuk menarik Matahari ke dasar samudera, ke samping rumahnya. Tirtaman Muda harus menariknya dengan segera. Arus deras membuat tenaga Tirtaman Muda terkuras. Perjalanan hampir berakhir. Setibanya di samping rumah, Tirtaman Muda mengaitkan tali-tali tersebut di pasak-pasak yang terbuat dari jangkar-jangkar kapal yang sudah tenggelam di sekitar situ.

Matahari menghidupkan dunia di tengah samudera. Tidak ada ikan-ikan yang tertidur.

Namun, semua itu tidak penting bagi Tirtaman Muda. Ia jatuh cinta, yang terpenting ia bisa menerangi hidup kekasihnya: seorang putri raja. Putri itu bernama Terbenam, matanya buta.


24.06.15
~sekarsarkara

Saturday, September 6, 2014

Malaikat Kidal

Bulan kedua di tengah anak-anak dengan senyum malaikat. Setelah dihitung-hitung, satu tahun tidak akan lama. Bulan kedua sudah berlalu artinya masih ada sepuluh bulan lagi. Ada keinginan untuk mengenal mereka satu per satu. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara klasikal.
Sabtu ketiga di bulan kedua. Satu per satu mereka membaca di samping meja guru. Beberapa sudah lancar membaca. Beberapa masih ada yang salah-salah membaca bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Satu hal yang baru disadari saat itu adalah adanya sebuah konsekuensi dari mengenal lebih jauh. Bisa jadi sebuah kelegaan, bisa juga sebuah ironi. Sebuah ironi, oleh sebab itu aku ada di sini.
Satu Kata
Di atas selembar post it , anak-anak menuliskan satu kata yang bisa membuat mereka senang. Mereka maju ke depan satu persatu, memikirkannya sejenak dan menuliskan satu kata tersebut lalu berlalri kecil ke tempat duduk sambil senyum-senyum. Ada yang membutuhkan waktu singkat untuk menuliskan satu kata yang menyenangkan, ada juga yang membutuhkan waktu lama untuk menuangkan satu kata tersebut.
Beberapa anak tidak masuk sekolah pada hari itu. Jadi, masih ada post it yang kosong. Anak-anak cukup heran ketika diminta untuk menuliskan satu kata tersebut. Kata-kata yang terkumpul sangat sederhana dan polos. Beberapa tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan, siapa pun akan tersenyum membacanya.
Lengkap
Rabu minggu terakhir bulan kedua. Anak-anak yang belum menuliskan satu kata, mendapat kesempatan menuliskannya. Di hari ini, lengkap sudah kata-kata menyenangkan bagi anak kelas IV SD Inpres Batulai. Dari kata-kata tersebut, ada darah yang terpompa hangat mengalir di seluruh tubuh. Tidak peduli betapa keringnya tenggorokan, teriknya matahari yang menggigit kaki yang tidak berhenti mengayuh sepeda. Kata-kata itu membuat semangat melayang-layang di udara, terhirup dan mengalir dalam darah.
Yan
Satu anak kecil yang sering sakit kepala. Rumah Yan cukup jauh dari sekolah. Pagi hari Yan mengerahkan seluruh semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Siang hari, dengan semangat, Yan menantang matahari dan jalan berbatu untuk pulang ke rumah. Yan, anak cerdas dari Tutus, tidak pernah lepas dari tiga besar di dalam kelas meskipun tidak ada yang tahu apakah setiap pagi Yan sarapan atau tidak.
Yan tinggal bersama nenek dan kakaknya. Orang-orang bilang Mama Yan sudah ‘jalan’. Entah apa yang dimaksud dengan ‘jalan’. Intinya Yan sudah tidak pernah bertemu dengan Mama lagi. Bapa Yan baru-baru ini pergi merantau ke Kalimantan. Seperti kebanyakan Bapa muda di Kuli. Yan anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak Yan yang paling besar duduk di kelas II SMP. Perbedaan usia mereka tidak jauh-jauh.
Hari sabtu ketika anak-anak lainnya menuliskan satu kata menyenangkan, Yan tidak masuk sekolah karena sakit. Di hari rabu itu, Yan bertanya-tanya apa yang diminta untuk dituliskan di kertas kecil itu. “Yan, Ibu bisa minta Yan pikirkan satu kata yang menyenangkan buat Yan? Satu kata yang ketika Yan mendengarnya Yan akan merasa senang. Bisa?” Yan kecil mengangguk cepat. Ia meraih pena dengan tangank kirinya. Satu kata tertulis sudah.
Tanpa berkedip aku membaca sebuah kata di secarik kertas kecil itu. Yan tersenyum polos sambil menggaruk-garuk kepala. “Sudah Ibu.” Katanya cepat kemudian berlari kembali ke tempat duduk. Perlahan aku tersenyum membacanya. Di dalam hati, aku mengakui kekuatan dari sebuah kata itu. Aku pun selalu senang ketika mendengar atau mengatakan kata tersebut.
Semesta selalu memastikan sahabatnya mendapatkan apa yang dibutuhkan. Seperti seorang malaikat kidal yang menuliskan satu kata penuh makna. Satu kata yang bisa mengubah hidup siapa saja. Satu kata yang bisa membuat semua orang senang.


Bersama. Siapa yang tidak senang dengan kata tersebut?

Monday, November 18, 2013

Jepun Putih

"kamu mau liat bunga apa besok? "
"hm? Bunga? Bunga apa?"
"iya, besok kamu mau lihat bunga apa di kamar?"
"oh. Jepun. Jepun putih."
"hah? Jepun kuburan?"
"bukan. Jepun Bali. Tapi yang warna putih."
"nggg. Dije ngalih.. "
"hehe. "
"iya deh besok aku cari. Emuah."

"kamarmu jorok banget sih."
"hah? Iya kah? Iya iya aku beresin."
"bau lagi.."
"iya nanti aku kasih bunga"

"pak, ini yg putih satu iket berapa? "
"20 ribu aja mbak "
"setengah ya pak. Sama ini. Sama mawarnya yg putih satunya berapa pak? "
"lima ribu mbak. Wis iki kabeh 25 mbak, piye? "
"iya deh"

"permisi mbak. Selamat pagi. "
"iya. Ada apa mbak? "
"saya boleh ga minta bunganya yang putih itu? "
"yang mana mbak? Boleh kok."
"yang itu mbak. Yang putih. Tiga ya mbak"
"ini mbak"
"makasi banyak ya mbak"

"sayang.."
"eh aku numpang ngeprint ya, boleh ga?"
"hm? Boleh kok. Sayang liat deh bunganya."
"maksimal boleh berapa lembar? "
"hmm? Berapa aja boleh."
"eh bunga apa?"
"itu tadi aku beli bunga"
"ada tinta warnanya? "
"ah? Ga ada. Item doang."
"duh kalo 50 lembar?"
"pake aja."
"eh 70an deng. Gajadi deh."

"Sayang..."
"hm."
"ngapain malah nungging."
"kamu jelek."
"masa? "
"kangen aku? "
"ngenli. Kangen ili banget. Hehe"
"ah kamu."
.......

Jepun putih layu dimakan abu dan panas suhu.

~ss
18nov13
Kok pindah kamar