Showing posts with label hidup. Show all posts
Showing posts with label hidup. Show all posts

Friday, June 5, 2015

Scaffolding


Ada sebuah gedung tinggi yang sedang dicanangkan akan selesai dalam waktu dekat ini. Dalam konstruksinya, gedung ini tentu saja membutuhkan berbagai macam bahan dan alat pertukangan, mulai dari paku yang paling kecil sampai crane yang tinggi menjulang.

Masyarakat di sekeliling gedung tersebut sudah menanti-nanti. Gossip sudah menyebar lama. Eh, katanya Jeng Dese ini gedung bakal jadi perkantoran bagus loh. Ah Jeng Sindang bilang katanya ini bakal jadi mall-mall kaya yang di sebelah jembatan itu, kebanyakan mall ah, ga guna. Sementara alat-alat berat terus berseru-seru tanpa pusing dengan gossip-gossip tersebut. Bahkan secara tidak sadar mereka berusaha menulikan para biang gossip. Makanya suara mereka semakin hari terdengar semakin kencang.

Paku-paku sudah terpasang, beton-beton sudah bergandengan satu sama lain. Alat-alat berat sudah mulai berkemas mau pindah ke gedung lainnya. Akhir-akhir ini banyak gedung baru memang, maklum Negara berkembang. Namun, tiang-tiang dingin itu masih ajeg dengan posisinya mengelilingi gedung yang sudah mau selesai: Scaffolding.

Sejak awal, scaffolding ini berbondong-bondong datang ke gedung yang bahkan mereka tidak tahu nantinya akan jadi seperti apa. Besi-besi ini dulunya ditempa dan dicetak menjadi bentuk yang sama, ya seperti scaffolding itu. Memang sih, tidak banyak orang yang tahu tentang si scaffolding ini. Mereka berdiri mengelilingi gedung yang sedang di bangun, sejak awal. Scaffolding disusun sedemikian rupa untuk menunjang pengerjaan gedung tersebut.

Besi dingin ini tidak bisa memilih untuk berada di susunan paling bawah atau paling atas. Kalau sudah di bawah ya sudah, satu frame scaffolding harus bertahan di sana dalam jangka waktu yang cukup lama, siang dan malam. Begitu juga scaffolding yang di atas. Kalau malam sudah terlalu dingin, kadang scaffolding yang di atas berteriak kepada scaffolding yang di bawah, aku takut jatuh nih, katanya. Sementara yang di atas takut jatuh, yang di bawah menimpali dengan keberatan, heh di bawah berat banget gila. Sementara scaffolding yang di tengah sudah hampir tuli mendengar teriakan mereka berdua. Ia hanya berharap gedung ini cepat selesai.

Tiba waktunya scaffolding –scaffolding tersebut memisahkan diri dari gedung yang sudah lama menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Sekarang, orang-orang tidak sabar untuk masuk ke dalam gedung yang berdiri kokoh. Scaffolding sudah tidak dibutuhkan lagi oleh gedung tersebut.

Scaffolding-scaffolding tersebut sudah harus bertugas menunjang gedung atau bangunan apapun lainnya di tempat lain. Bisa jadi mereka juga terpisah satu sama lain. Atau, bisa juga ada beberapa dari mereka yang bersama-sama lagi.


Orang-orang menikmati gedung kokoh itu tanpa tahu apa itu scaffolding. Karena scaffolding tidak tinggi menjulang seperti crane. Karena scaffolding tidak ditanam menjadi pondasi atau bukan juga beton-beton yang menjadi tembok. Scaffolding hanyalah besi-besi dingin yang dibongkar pasang untuk menunjang pembangunan sebuah bangunan, tidak bercahaya, tidak tinggal menetap, tidak besuara, tetapi mereka pernah tinggal siang malam mendampingi proses pembangunan sebuah bangunan yang sekarang berdiri kokoh. 

03.06.2015
~sekarsarkara

Tuesday, April 28, 2015

Lubang – Lubang di Teras

Panas bulan September tidak terlalu menyengat di bawah penjagaan dua pohon asam yang rindang di depan rumah. Bahkan, di teras terasa lebih sejuk karena rindangnya pohon asam ini. Tentu saja, atap rumah ini menggunakan seng dan tanpa langit-langit. Akan tetapi, dinding dari bebak lontar (pelepah lontar) membuat suhu di dalam ruangan tidak terlalu panas. Lantai yang terbuat dari plester semen yang halus juga terasa dingin.

Tembok setinggi lutut yang ditutup dengan ubin menjadi tempat favorit anak-anak dan tetangga lainnya untuk duduk-duduk, bermain bahkan tidur siang. Anak-anak kerap bermain di teras ini sepulang sekolah. Anak-anak kecil yang belum sekolah atau anak-anak kelas kecil biasa bermain bola kaki di teras. Mungkin karena besarnya teras yang tidak terlalu besar sehingga anak kecil senang bermain bola kaki. Atau, bisa jadi juga karena lapangan bola kaki yang sesungguhnya dikuasai oleh anak-anak yang lebih besar.



Di sisi timur teras, ada bagian lantai teras yang bolong. Pengerjaan semen yang kurang baik dan tidak rata membuat lantai mudah pecah. Lubang itu diawali dengan retakan kecil. Anak-anak yang suka datang bermain bola tanpa disadari memperbesar retakan itu menjadi sebuah lubang. Kadang, ada saja anak yang suka mengorek-ngorek lubang itu dan tentunya berkontribusi akan adanya sebuah lubang besar di teras.

Lubang itu tentunya berpasir dan menampung debu-debu yang terbawa angin. Setiap kali disapu, tidak lama teras pasti berdebu lagi. Si pemilik teras rumah ini dengan sabar menyapu terasnya dan lubang itu. Karena lubang itu semakin besar, si pemilik teras juga lelah menyapu debu-debu yang singgah di lubang itu, si pemilik teras menambal lubang di teras dengan semen seadanya. Si  pemilik teras pun senang karena anak-anak bisa bermain tanpa perlu khawatir kakinya akan terluka dan tidak ada lagi teras yang berdebu terus menerus.

Keadaan itu tidak berlangsung lama. Ternyata, banyak bagian yang juga retak. Keadaan itu berulang lagi. Anak-anak bermain di retakan dan membuatnya semakin besar dan menjadi lubang-lubang. Si pemilik teras tidak mungkin melarang anak-anak untuk bermain di terasnya lagi. Ia juga tidak mampu membongkar ulang terasnya.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak yang biasa bermain semakin besar dan dengan sendirinya pindah ke lapangan yang lebih besar. Tetapi, tentunya ada anak kecil yang baru menggantikan kakak-kakak yang terdahulu. Mereka juga suka bermain bola dengan kaki-kaki kecil mereka di teras yang terus berlubang.

Sebenarnya, si pemilik teras tahu kalau teras itu bukanlah tempat yang tepat untuk bermain bola. Namun, si pemilik teras tidak mau ambil pusing. Si pemilik teras berpikir meskipun ia menasihati anak-anak yang bermain di terasnya tidak akan membuat mereka berhenti bermain di terasnya. Di sisi lain, si pemilik teras juga berpikir toh anak-anak ini juga mempunyai teras di rumah mereka masing-masing. Teras-teras itu juga sama persis dengan teras yang ada di rumahnya. Tetapi, kata-kata itu hanya berhenti di  pikirannya saja, si pemilik teras tetap membiarkan anak-anak bermain dan tidak pernah menegur mereka.

Kadang memperbaiki apa yang sudah rusak memang terasa lebih mudah. Akan tetapi, tindakan yang merusak tidak pernah disinggung dan tidak ada yang berusaha memperbaiki. Sampai kapan pun  si pemilik teras akan memperbaiki terasnya terus menerus dan parahnya hal ini menjadi tradisi dan pemikiran akan untuk memperbaiki perilaku itu akan hilang. Perilaku itu akan menjadi lazim dan dimaklumi sementara orang-orang sibuk memperbaiki kerusakan akibat perilaku tersebut.


Toh, itu hanya sebuah teras.




25.09.14

~ss

Saturday, April 25, 2015

Cerita Tentang Memberikan Kesempatan

Ada banyak cerita tentang berbagi. Beberapa meninggalkan kesan ketulusan, sebagian lainnya meninggalkan kesan heroik seperti cerita-cerita tentang pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka, para pelaku yang mengisahkan cerita tersebut, juga beragam. Beberapa menceritakan pengalaman tentang berbagi gula-gula  saat hari ulang tahun di kelas semasa duduk di sekolah dasar. Ada juga menceritakan pengalaman berbagi sepotong roti di jembatan penyeberangan.

Setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing dengan latar belakang dan skala berbagi yang beragam. Beberapa mengatakan karena kasihan, sebagian lainnya karena kasih. Beberapa melakukannya karena harus, sebagian lainnya karena merasa memiliki hak untuk berbagi. Tidak masalah. Semuanya, sedikit banyak menghasilkan kebaikan.

Semua pemberian dengan ketulusan membawa kebaikan, katanya. Tapi, apakah semua kebaikan membawa perubahan?

Seorang anak kelas IV SD berulangtahun pada hari itu. Ia membagi-bagikan gula-gula untuk teman sekelasnya tidak terkecuali. Semua anak memberikan ucapan selamat kepada anak tersebut. Keesokan harinya anak laki-laki yang sering mengganggunya, tetap mengganggu dan membuatnya menangis. Tidak berubah.

Seorang wanita karir melewati jembatan penyeberangan yang sama menuju kantornya setiap hari. Setiap hari juga ia memberikan sepotong roti kepada tua renta yang duduk di sudut jembatan tersebut. Tua renta itu tetap berada di sudut itu selama bertahun-tahun. Tidak berubah.


Mengapa kebaikan itu tidak membawa perubahan ?

Mungkin jawabannya sederhanya. Karena apa yang diberikan habis.

Banyak dari kita mengukur sebuah pemberian dengan harga, besaran, jumlah, yang tentunya semua bisa habis. Lalu semata-mata kita mengharapkan perubahan dari sesuatu yang bisa habis itu. Perubahan membutuhkan kesempatan.

Seorang ibu memberikan kesempatan untuk anak perempuannya meninggalkan rumah untuk mengabdi kepada bangsa. Kesempatan ini mengubah hidupnya, anak perempuannya dan parahnya lagi lingkungan tempat tinggal anak perempuannya di rantau.

Seorang guru memberikan kesempatan untuk muridnya berbicara di depan kelas sebagai seorang pemimpin. Kesempatan ini membekas di ingatan muridnya. Terngiang selalu sampai ia dewasa, sampai ia berdiri di tengah kawan-kawan mahasiswa, bahwa dulu ketika ia masih SD ada seorang guru yang tersenyum di sampingnya saat ia sedang berbicara terbata-bata di depan kelas dan masih memberikan tepuk tangan sesusai ia berbicara.

Seorang teman memberikan kesempatan untuk temannya mengatakan permintaan maaf atas kesalahan yang diperbuat. Kesempatan itu bahkan menggerakan hatinya sendiri untuk menerima permintaan maaf tersebut dan menghadirkan hadiah yang tidak akan pernah habis: seorang sahabat.

Bukan tentang hak bukan tentang kewajiban. Semua ini tentang kesempatan yang diberikan Cuma-Cuma. Semua orang yang mau mengambil kesempatan ini harus membayar sesuai dengan harga masing-masing, sesuai dengan pengorbanan masing-masing, dengan pertanggungjawaban pada diri masing-masing.

Semua ini tentang memberikan kesempatan. Tentang memberikan kesempatan pada orang yang tidak dikenal sama sekali untuk berbagi dengan kaki-kaki kosong yang meniti batu-batu kapur setiap hari dengan tawa ceria mereka. Semua ini tentang memberikan kesempatan pada orang yang mau berbagi kebaikan dan cerita kepada orang lain yang belum pernah mereka kenal sebelumnya, kepada para petani lontar yang mempertaruhkan nyawanya memanjat pohon lontar tanpa pengaman apapun. Semua ini tentang memberikan kesempatan saudara sebangsa untuk melihat dunia luar dengan mata orang lain. Bahwa kesempatan-kesempatan ini terbuka lebar untuk tangan-tangan yang mau mengambil, untuk kaki-kaki yang kebas berlari menghantam jalan putih berbatu kapur untuk mata yang tidak pernah lelah dan telinga yang tidak pernah tertutup.

Kesempatan tidak pernah memilih siapa yang mau mengambilnya, manusialah yang memilih kesempatan mana yang akan ia ambil dan membiarkan kesempatan itu mengubah hidupnya.



Saturday, September 6, 2014

Malaikat Kidal

Bulan kedua di tengah anak-anak dengan senyum malaikat. Setelah dihitung-hitung, satu tahun tidak akan lama. Bulan kedua sudah berlalu artinya masih ada sepuluh bulan lagi. Ada keinginan untuk mengenal mereka satu per satu. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan secara klasikal.
Sabtu ketiga di bulan kedua. Satu per satu mereka membaca di samping meja guru. Beberapa sudah lancar membaca. Beberapa masih ada yang salah-salah membaca bahkan ada yang belum bisa membaca sama sekali. Satu hal yang baru disadari saat itu adalah adanya sebuah konsekuensi dari mengenal lebih jauh. Bisa jadi sebuah kelegaan, bisa juga sebuah ironi. Sebuah ironi, oleh sebab itu aku ada di sini.
Satu Kata
Di atas selembar post it , anak-anak menuliskan satu kata yang bisa membuat mereka senang. Mereka maju ke depan satu persatu, memikirkannya sejenak dan menuliskan satu kata tersebut lalu berlalri kecil ke tempat duduk sambil senyum-senyum. Ada yang membutuhkan waktu singkat untuk menuliskan satu kata yang menyenangkan, ada juga yang membutuhkan waktu lama untuk menuangkan satu kata tersebut.
Beberapa anak tidak masuk sekolah pada hari itu. Jadi, masih ada post it yang kosong. Anak-anak cukup heran ketika diminta untuk menuliskan satu kata tersebut. Kata-kata yang terkumpul sangat sederhana dan polos. Beberapa tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan, siapa pun akan tersenyum membacanya.
Lengkap
Rabu minggu terakhir bulan kedua. Anak-anak yang belum menuliskan satu kata, mendapat kesempatan menuliskannya. Di hari ini, lengkap sudah kata-kata menyenangkan bagi anak kelas IV SD Inpres Batulai. Dari kata-kata tersebut, ada darah yang terpompa hangat mengalir di seluruh tubuh. Tidak peduli betapa keringnya tenggorokan, teriknya matahari yang menggigit kaki yang tidak berhenti mengayuh sepeda. Kata-kata itu membuat semangat melayang-layang di udara, terhirup dan mengalir dalam darah.
Yan
Satu anak kecil yang sering sakit kepala. Rumah Yan cukup jauh dari sekolah. Pagi hari Yan mengerahkan seluruh semangatnya untuk berangkat ke sekolah. Siang hari, dengan semangat, Yan menantang matahari dan jalan berbatu untuk pulang ke rumah. Yan, anak cerdas dari Tutus, tidak pernah lepas dari tiga besar di dalam kelas meskipun tidak ada yang tahu apakah setiap pagi Yan sarapan atau tidak.
Yan tinggal bersama nenek dan kakaknya. Orang-orang bilang Mama Yan sudah ‘jalan’. Entah apa yang dimaksud dengan ‘jalan’. Intinya Yan sudah tidak pernah bertemu dengan Mama lagi. Bapa Yan baru-baru ini pergi merantau ke Kalimantan. Seperti kebanyakan Bapa muda di Kuli. Yan anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak Yan yang paling besar duduk di kelas II SMP. Perbedaan usia mereka tidak jauh-jauh.
Hari sabtu ketika anak-anak lainnya menuliskan satu kata menyenangkan, Yan tidak masuk sekolah karena sakit. Di hari rabu itu, Yan bertanya-tanya apa yang diminta untuk dituliskan di kertas kecil itu. “Yan, Ibu bisa minta Yan pikirkan satu kata yang menyenangkan buat Yan? Satu kata yang ketika Yan mendengarnya Yan akan merasa senang. Bisa?” Yan kecil mengangguk cepat. Ia meraih pena dengan tangank kirinya. Satu kata tertulis sudah.
Tanpa berkedip aku membaca sebuah kata di secarik kertas kecil itu. Yan tersenyum polos sambil menggaruk-garuk kepala. “Sudah Ibu.” Katanya cepat kemudian berlari kembali ke tempat duduk. Perlahan aku tersenyum membacanya. Di dalam hati, aku mengakui kekuatan dari sebuah kata itu. Aku pun selalu senang ketika mendengar atau mengatakan kata tersebut.
Semesta selalu memastikan sahabatnya mendapatkan apa yang dibutuhkan. Seperti seorang malaikat kidal yang menuliskan satu kata penuh makna. Satu kata yang bisa mengubah hidup siapa saja. Satu kata yang bisa membuat semua orang senang.


Bersama. Siapa yang tidak senang dengan kata tersebut?

Seperti Merak yang Bisa Terbang

Saya belum mengetahui apa materi ajar untuk praktek besok. Setelah mencari silabus yang tersebar  di teman-teman, saya cukup kaget ketika saya harus mengajar Seni Budaya dan Keterampilan dan Muatan lokal Bahasa Sunda. Di silabus sudah ditandai poin mana yang akan menjadi materi ajar saya. Poin tersebut adalah siswa mampu menirukan tarian dengan gerakan binatang.
Sebagai seorang yang senang menari, saya sempat bingung. Materi tari yang ada pada saya adalah materi tari baku yang memiliki pakem tertentu. Mengajar tari untuk orang dewasa memang lah mudah. Akan tetapi, saya belum pernah punya pengalaman mengajar tari, anak kelas 2 SD, sebanyak 45 orang, dan berkaitan dengan binatang.
Saya berpikir panjang untuk mempersiapkan materi ajar saya tersebut. RPP yang saya susun sebagian besar terdiri dari nyanyian-nyanyian dengan gerakan binatang. Sama sekali tidak terpikir untuk mengajarkan mereka suatu tarian yang sudah saya kuasai sebelumnya. Malam itu, saya sibuk memikirkan lagu-lagu yang terkait dengan binatang serta mencari-cari gerakannya.
Pagi itu, saya mengajar pada pukul 09:30. Sembari menunggu, saya berbincang-bincang dengan guru-guru di ruang guru. Tidak ada rencana untuk mengajar menari, tetap saja saya membawa laptop, sampur, dan speaker.
Masuk kelas pagi itu saya disambut oleh tatapan-tatapan polos. Selesai memeriksa kehadiran, saya menyampaikan materi sesuai dengan yang ada di silabus.
“Anak-anak siapa yang tahu burung merak?” serempak mereka menjawab “saya tahu bu!”
Seekor burung merak, bisa kah ia terbang ataukah tidak? Saya mulai mengepak-kepakkan sampur , layaknya sayap. Semakin lama semakin pelan kepakannya. Langkahnya kecil-kecil perlahan seiring dengan gerakan tangan yang menirukan kepala  dengan paruh yang lancip serta lentiknya sayap sang merak. Begitu, bergantian sang merak melangkah dan menoleh seolah di tempat baru dimana ia harus waspada. Suara gendang yang rampak mengejutkan sang merak, terburu-buru ia terbang berputar, dikepakkannya lah sayapnya. Mendarat di lahan yang lebih aman , sang merak berusaha mencari temannya.
Anak-anak tidak tahu bahwa gerakan tarian yang mereka bawakan merupakan tari perempuan yang mengisahkan tentang sepasang merak. Semua anak berebut untuk bisa maju ke depan kelas untuk bisa menari bersama Ibu Ily. Dari yang awalnya sudah sangat tertarik sampai anak-anak yang ribut sendiri di kursi belakang.
Usai pertunjukan kecil kami, anak-anak menanyakan apakah mereka akan belajar. Saya menanyakan apa lagi yang hendak mereka pelajari. Anak-anak sangat semangat untuk belajar membaca dan menulis. Akhirnya, saya menuliskan satu kalimat untuk mereka salin.
“Hari ini saya belajar Tari Merak”
Dari satu kalimat tersebut, saya tidak menyangka bahwa mereka akan menuliskan banyak hal. Ada anak yang menuliskan satu paragraf terintegrasi. Ada juga yang menuliskan beberapa kalimat yang diberi nomor. Mulai dari ungkapan perasaan sampai deskripsi kegiatan kami hari ini.
Pada satu titik dalam hidup saya, saya boleh merasa kehadiran saya  sangat bermakna, dinilai dengan ketulusan dan kejujuran seorang anak. Di bukunya yang tipis, tertulis sebuah kalimat yang memiliki dampak besar dalam hidup saya. Kalimat yang akan terbawa seumur hidup saya. Kepada penulisnya lah saya harus berterimakasih banyak, yang kepadanya, yang bahkan saya lupa siapa namanya. Terima kasih Nak, banggakanlah negerimu kelak.


“Saya bangga  punya ibu guru seperti Ibu Ily”